Arti Bimbingan Kristen
Secara umum bimbingan berarti pemberian bantuan oleh seseorang kepada orang lain dalam menentukan pilihan, penyesuaian dan pemecahan permasalahan.[1] Lebih lanjut Singgih menjelaskan pendapat L.D. Crow dan A. Crow, bahwa bimbingan adalah merupakan bantuan yang dapat diberikan oleh pribadi yang terdidik dan wanita atau pria yang terlatih, kepada setiap individu yang usianya tidak ditentukan untuk dapat menjalani kegiatan hidup, mengembangkan sudut pandangannya, mengambil keputusannya sendiri dan menanggung bebannya sendiri.[2]
Secara umum bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang, agar orang itu memperkembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki di dalam dirinya sendiri dalam mengatasi persoalan-persoalan, sehingga ia dapat menentukan sendiri jalan hidupnya secara bertanggung jawab dan menanggung bebannya sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain.
Menurut Paul D. Meier, Frank B. Minirth dan Frank Wichern,[3] bimbingan Kristen
merupakan pemberian bantuan oleh seorang pembimbing kristen kepada konseli Kristen untuk mengenal, mengerti, dan memecahkan masalah-masalah sesuai dengan firman Allah.
Lawrence J. Crabb menjelaskan bahwa bimbingan Kristen adalah bimbingan yang diberikan untuk menolong konseli Kristen menjadi dewasa dalam kehidupan kekristenannya, bersedia menempatkan kehendak Allah dalam setiap keadaan dan mempunyai keinginan untuk menjadi semakin serupa dengan Allah.[4]
Jadi, bimbingan Kristen adalah bimbingan yang diberikan berdasarkan Alkitab, dengan tujuan untuk mengajar konseli agar hidup berdasarkan firman Allah atau supaya ia belajar cara alkitabiah dalam menanggapi setiap keadaan sehingga semakin serupa dengan Allah.
Prinsip-prinsip dalam bimbingan Kristen
Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dalam bimbingan Kristen di sini adalah kebenaran-kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam bimbingan secara Kristen. Ada tujuh prinsip bimbingan Kristen yang akan dikemukakan.
1. Bimbingan Kristen menerima Alkitab sebagai standard atau ukuran otoritas yang tertinggi.[5]
Alkitab adalah firman Allah yang tertulis, standard kebenaran untuk menilai tingkah laku manusia. Sebagai orang Kristen penulis percaya bahwa Allah adalah sumber satu-satunya dari kebenaran. Tidak ada kebenaran lain selain dari apa yang telah Allah firmankan melalui Alkitab (Ayub 8:3; Mazmur 119:160). Sudah sepatutnya pembimbing Kristen memakai kebenaran firman Allah yang dinyatakan melalui Alkitab sebagai standard kebenaran yang mutlak dalam setiap kegiatan bimbingan.
2. Bimbingan Kristen adalah pelayanan yang mutlak tergantung pada kuasa Roh Kudus.[6]
Sukses setiap pelayanan bimbingan tergantung mutlak pada kehadiran Roh Kudus sendiri. Seperti yang Paulus katakan dalam II Korintus 3:5-6 bahwa “ dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri, tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah. Ialah membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.
Kehadiran Roh Kudus adalah sesuatu yang nyata, meskipun pembimbing, konseli sendiri mungkin tidak merasakannya (I Korintus 6:19). Kehadiran Roh Kudus adalah kehadiran Allah sendiri yang secara aktif campur tangan dalam kehidupan manusia (Yohanes 14:18,26; Matius 28:20). Roh Kudus bukan hanya ide doktrin, tetapi Ia adalah Allah yang bersedia hadir dalam diri pembimbing maupun konseli (I Korintus 6:19).
Kenyataan ini memberikan kesadaran pada pembimbing Kristen bahwa keberhasilan dari bimbingannya tidak tergantung pada keahlian dan kekuatannya sendiri. Sebagai manusia ia terbatas tetapi Allah tidak terbatas, ia hanya sebagai alat di tangan Tuhan karena itu harus memberi kebebasan sepenuh-penuhnya pada Roh Kudus untuk bekerja dalam dirinya dan diri konseli.
3. Bimbingan Kristen didasarkan pada kasih Allah.[7]
Yang menjadi dasar dalam pelayanan bimbingan seorang pembimbing Kristen adalah kasih Allah yang telah terlebih dahulu mengasihinya (I Yohanes 4:10) seorang pembimbing Kristen wajib mengasihi dan memelihara yang lain dalam hal ini konseli (Roma 12:9-21) dengan membina suatu hubungan secara rohani dan menolongnya dalam memecahkan masalah-masalahnya berdasarkan firman Allah sehingga konseli dapat terus bertumbuh dalam Kristus.
4. Bimbingan Kristen adalah pelayanan yang dipercayakan oleh Allah sendiri.[8]
Pelayanan bimbingan Kristen adalah pelayanan yang dipercayakan oleh Allah sendiri kepada orang-orang percaya secara khusus kepada pembimbing Kristen. Tanpa kepercayaan ini, pembimbing Kristen akan cenderung untuk mempraktekkan pelayanan ini secara sekuler. Padahal konseli memilih dan mencari dia dalam usahanya untuk menyelesaikan persoalan pribadinya oleh karena dia adalah pembimbing yang keistimewaannya menolong konseli dalam persoalan-persoalan rohani (spiritual therapist).
5. Bimbingan Kristen melihat manusia sebagai ciptaan Allah yang istimewa
Bimbingan Kristen melihat manusia sebagai ciptaan Allah teristimewa, sepeta dan
segambar dengan Allah namun telah jatuh ke dalam dosa dan membutuhkan keselamatan
serta pembaharuan di dalam Kristus. Salah satu kelemahan yang jelas pada psikologi
sekuler ialah pengabaian antara manusia dengan binatang.[9]
Dalam kejadian fasal satu manusia diperkenalkan sebagai puncak dari seluruh proses penciptaan. Dalam fasal dua manusia diperkenalkan sebagai pusat dari rencana Allah. Maka dari permulaan Alkitab, manusia memiliki tempat yang khusus, di atas dari makluk lain dan yang terutama dari segala makhluk. Manusia adalah makluk ciptaan Allah yang teristimewa (Mazmur 8:5-6), peta dan gambar Allah sendiri. Dengan kenyataan ini manusia tidak dapat disamakan dengan binatang. Tetapi manusia sudah jatuh dalam dosa (Kejadian 3; Roma 3:23) sehingga arah seluruh kehidupannya adalah kebinasaan semata-mata (Roma 1-21). Namun ia mempunyai pengharapan untuk menemukan kembali sebagai ciptaan yang baru dengan dilahirkan kembali sebagai ciptaan yang baru dengan anugerah-anugerah Roh dan dengan kekuatan baru untuk memuliakan Allah (II Korintus 5-17; Yesaya 40:29-31; Yohanes 1:21; Roma 8:14,dsb.) di dalam dan melalui iman kepada Tuhan Yesus Kristus.
6. Bimbingan Kristen berurusan dengan manusia seutuhnya.[10]
Pembimbing Kristen menyadari bahwa ada hubungan yang saling mengait antara aspek fisik, psikologis, dan rohani dari keberadaan manusia. Ketika satu aspek terganggu maka yang lainpun dipengaruhinya.
Orang yang sakit secara psikologis dapat mengakibatkan sakit secara fisik dan rohani. Mengobatinya dengan memberinya obat bagi penyakitnya secara fisik memang bisa mengurangi penyakitnya tetapi hanya secara fisik dan tidak akan menyembuhkan penyakitnya secara psikologi atau rohani.
7. Bimbingan Kristen terbuka bagi sumbangan-sumbangan ilmu pengetahuan lain
Khususnya psikologi, sejauh itu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dinyatakan di dalam dan melalui Alkitab. Dalam konteks pelayanan sebagai pembimbing Kristen, psikologi memberikan tiga sumbangan penting, yaitu :.[11]
- Psikologi memberikan informasi dan pengetahuan tentang gejala-gejala kejiwaan yang melatarbelakangi tingkah laku manusia yang “normal” dalam hidupnya.
- Psikologi memberikan informasi dan pengetahuan tentang gejala-gejala kejiwaan yang khusus yang biasanya dikategorikan sebagai “abnormalitas”
- Psikologi memberikan sumbangan tehnik-tehnik pendekatan bimbingan yang dapat dipakai untuk mengembangkan tehnik pendekatan bimbingan Kristen.
Tujuan Bimbingan Kristen
Seorang konseli meminta bimbingan, pada dasarnya bersifat egois. Biasanya ia minta dibebaskan dari persoalannya, ingin lepas dari penderitaan, dan ingin merasa baik, atau ingin menjadi bahagia. Namun demikian, tujuan akhir pelayanan bimbingan Kristen bukan sekedar menolong konseli bebas dari persoalan atau penderitaannya dan menjadikannya bahagia, tetapi menolong konseli untuk menjadikan Tuhan sebagai pusat kebahagiaannya.
Jika tujuan utama konseli datang minta bimbingan adalah untuk menjadi bahagia maka yang terjadi adalah konseli tersebut tidak akan pernah menjadi bahagia. Karena keinginannya yang egois dan berpusat pada diri sendiri itu malah akan menghambat pengertiannya untuk tahu kehendak Allah dalam hidupnya. Atau jika tujuan seorang pembimbing Kristen adalah untuk menolong konseli terlepas dari persoalan atau penderitaannya dan menjadikannya bahagia maka pembimbing Kristen itu akan mengalami kegagalan karena yang dapat memberikan kebahagian yang benar hanyalah Kristus.
Kebahagian yang benar dapat terjadi jika konseli mau menanggapi setiap keadaan yang terjadi dalam hidupnya secara alkitabiah, menjadikan Allah nomor satu atau hidup di dalam kehendak Allah, mencari jalan sebagaimana yang Tuhan inginkan dan mempunyai keinginan untuk menjadi semakin serupa dengan Allah.[12] Pada saat konseli mencurahkan seluruh tenaganya untuk menjadi seperti yang Kristus inginkan, justru saat itulah Kristus memenuhi konseli dengan kebahagiaan yang tak terkatakan dan kedamaian yang jauh melebihi apa yang dunia dapat berikan.[13]
Tujuan bimbingan Kristen adalah menolong konseli untuk mengenal, mengerti dan memecahkan masalah-masalah sesuai dengan firman Allah,[14] yaitu mengajar, menegur, memperbaiki dan melatih konseli dengan mengkonfrontasikannya pada firman Allah supaya konseli dapat disempurnakan di hadapan Allah.[15] Karena itu pembimbing Kristen harus selalu menyadari bahwa tujuan akhir dari setiap pelayanannya, tidak lain daripada membimbing orang pada keselamatan dan kepenuhan hidup dalam Tuhan Yesus Kristus (I Korintus 9:22; Yakobus 5:20) dengan mengajar konseli dari firman Allah.
Pentingnya Bimbingan Kristen
Penulis melihat ada dua alasan :
- Keadaan orang-orang Kristen. Kurangnya pembimbing-pembimbing Kristen yang terampil telah mendorong orang-orang Kristen untuk datang meminta bantuan kepada pembimbing-pembimbing sekuler dalam hal ini psikolog atau psikiater dalam mencari jalan keluar atas persoalan-persoalan yang dihadapinya.
- Bimbingan Kristen penting dalam menghadapi tantangan berkembangnya metode-
metode bimbingan sekuler yang berdasarkan pada asumsi yang tidak sesuai dengan iman Kristen. Metode-metode bimbingan sekuler tersebut antara lain :
1) Psikoanalisa yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.[16]
Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa kesukaran-kesukaran manusiawi dapat dimengerti oleh rangka fikir medis, pandangan ini telah merusak tanggung jawab manusia. Orang tidak mau lagi bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya yang salah. Mereka menyatakan bahwa masyarakatlah yang salah daripada menegaskan tanggung jawab pribadi.
Freud melihat manusia dalam kerobekan batiniah. Menurut pendapatnya manusia mempunyai kemauan-kemauan yang primitif, dorongan-dorongan yang mencari pemuasan, yaitu Id (seks dan agresi), super ego (sedikit mirip dengan hati kecil, ditanamkan dalam pribadi melalui orangtua, gereja, guru, dll.), ego (kesadaran diri seseorang ). Menurut Freud super egolah yang jahat, sakit jiwa adalah korban dari super ego yang diterapkan secara berlebih-lebihan. Pertentangan timbul kalau id mau bersuara tetapi dihalangi oleh super ego. Kebutuhan primitif perlu pemuasan tetapi super ego menghalanginya dengan kuat, sehingga terjadi ketegangan jiwa yang disebutnya sebagai “rasa bersalah”. Perasaan bersalah tidak dapat dibenarkan karena itu tidak perlu mengakui dosa, tetapi yang harus dilakukan adalah melenyapkan kekeliruannya.
Terapinya bertujuan membuat seseorang merasa benar dengan melenyapkan rasa salahnya. Usaha terapi adalah dengan membendung id yang sedang menentang super ego. Id mau mengalahkan dan melemahkan super ego sehingga tidak mendakwa lagi. Bagian lain dari terapi itu adalah kembali ke masyarakat dengan tata susila yang baru yang lebih sesuai dengan kenyataan.
2) Client-Centered yang dikembangkan oleh Carl Rogers.[17]
Corak bimbingan Carl Rogers mempunyai anggapan bahwa manusia sanggup menyelesaikan masalahnya sendiri, kekuatan seseorang dapat dikerahkan dengan tehnik non directive (tanpa pengarahan). Dengan pandangan ini pembimbing merupakan tembok pemantulan pertanyaan-pertanyaan konseli. Sebagaimana konseli mengungkapkan kesulitannya di depan pembimbing, pembimbing akan memantulkan kembali pertanyaan atau ucapan itu dengan lebih terarah.
3) Analisa Transaksional yang dikembangkan oleh Eric Berne.[18]
Analisis transaksional berasumsi bahwa orang-orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir dan memutuskan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan-perasaannya. Menurut analisis transaksional pokok atau dasar akar persoalan manusia adalah ketidak seimbangan antara role “orang tua”, “dewasa”, “anak” yang terdapat dalam ego manusia.
Analisis transaksional berpendapat, manusia dapat hidup bahagia, baik dan tenteram jika saya oke kamu pun oke, dengan cara mengubah hidup atau peranan.
Tetapi yang menjadi masalah bahwa tanpa Kristus perubahan adalah sulit dan tidak ada seorang pun yang sungguh-sungguh ok.[19]
4) Terapi realita yang dikembangkan oleh Willian Glasser.[20]
Terapi realita adalah suatu sistem yang difokuskan kepada tingkah laku sekarang. Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi.
Terapi realita berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan sosial yang paling penting dalam diri manusia yaitu kebutuhan akan identitas yang dapat terbentuk jika kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa dirinya berguna baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain terpenuhi di mana hal itu dapat terjadi dalam interaksi dengan yang lain.
Tujuan terapi adalah membantu seseorang untuk mencapai otonomi yaitu kematangan di mana seseorang mampu bertanggung jawab atas siapa dirinya dan ingin menjadi apa serta mengembangkan rencana-rencana yang bertanggung jawab dan realistis guna mencapau tujuan-tujuan itu. Dapat disimpulkan dalam tiga hal yaitu mampu menghayati kenyataan, mampu melakukan sesuatu dengan benar dan mampu bertanggung jawab.
Terapi realitas mempunyai pengaruh yang besar terhadap bimbingan kristen karena penekanannya pada tanggung jawab dan usahanya untuk membedakan antara yang benar dan salah. Namun dalam terapi realitas ukuran normal adalah relative karena hal itu didasarkan bukan pada standard yang mutlak.[21]
Metode-metode bimbingan sekuler tersebut mempunyai keterbatasan jika dibandingkan dengan bimbingan Kristen. Berdasarkan penjelasan di atas penulis beranggapan bahwa hanya bimbingan secara Kristen yang dapat memberikan kesembuhan total terhadap penderita luka batin.
Penyembuhan Luka-luka Batin dalam Kerangka Bimbingan Kristen
Penyembuhan luka batin merupakan suatu proses penyembuhan batin manusia yakni dari pikiran, perasaan dan kenangan yang menyakitkan.[22] Hal itu berawal dari inisiatif Allah seperti yang dikatakan dalam Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal”. Karena itu langkah-langkah penyembuhan luka-luka batin dalam kerangka bimbingan Kristen adalah:
1. Menjadikan Kristus sebagai pusat hidup dan pusat penyembuhan
Yesus Kristus adalah Allah Yang Maha Kuasa sekalipun Allah yang mengasihi manusia. Yang mampu memulihkan sseorang yang menderita luka batin. Dan hingga saat ini Tuhan Yesus yang sama tetap mampu dan bersedia menyembuhkan luka batin seorang yang datang kepada-Nya. Alkitab mengatakan, “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.” (Ibrani 13:8). Dengan kata lain Kristus mampu berurusan dengan masa lalu seseorang dan menjamah bagian yang terluka serta menyembuhkannya. Kristus ingin agar seorang penderita luka batin mau menyerahkan masa lalunya kepada-Nya. Kemudian mulai mengarahkan diri kepada apa yang ada di depan (Filipi 3:13). Kristus sanggup untuk menyembuhkan penderita luka batin karena Ia adalah Allah yang menciptakan manusia. Dia yang menciptakan manusia tentu saja Dia juga sanggup menyembuhkan, dan memulihkan kembali manusia ciptaan-Nya yang sudah rusak dan penuh dengan luka-luka batin itu.
Dalam Kejadian 1:27 tertulis, bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Pada waktu Allah menciptakan manusia, Dia memberikan hargaNya sendiri pada manusia. Harga yang dari Tuhan itu tidak dapat diukur oleh takaran manusia. Dan semua manusia yang diciptakan-Nya mempunyai harga yang mulia karena ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Namun, harga diri yang mulia itu berubah menjadi sesuatu yang tidak bernilai sama sekali ketika ia jatuh ke dalam dosa. Manusia berdosa ketika ia memberontak terhadap Allah dan mengikuti keinginannya sendiri (Kejadian 3).
Pada waktu Tuhan menciptakan Adam dan Hawa mereka tidak berdosa. Saat itu mereka tidak mempunyai masalah. Mereka hidup damai dan bahagia. Mereka mempunyai harga diri yang sempurna. Mereka mengalami kasih dan penerimaan dari Tuhan. Tetapi pada saat mereka memilih untuk melawan Tuhan dengan makan buah yang dilarang itu, manusiapun menjadi terpisah dengan Allah. Mereka kemudian berdosa dan hubungan dengan Tuhan menjadi rusak. Jadi secara teologis akar dari persoalan manusia termasuk luka-luka batin adalah dosa.
Sejak ada dosa, manusia terpisah dari Allah, putus hubungan dengan Allah, terpisah dari sumber nilai dan jaminan hidupnya. Karena dosa, manusia mulai mementingkan diri sendiri, egois, mengikuti keinginan sendiri, segalanya dipusatkan kepada “aku” manusia sendirilah yang menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Keadaan seperti itu menjadikan ketegangan antar sesama manusia baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat kecil maupun dalam lingkungan masyarakat luas.
Saat ini banyak orang tua yang jatuh dalam dosa, tidak bertanggungjawab dalam mendidik anak-anaknya. Banyak orang tua yang mendisiplin anaknya dengan cara yang tidak benar, kasar dan kejam. Mereka kurang mengasihi anak-anaknya bahkan cenderung menyakiti, dan melukai sehingga menimbulkan kepahitan dalam hati anak. Akibatnya, kondisi ini membuat banyak anak bertumbuh secara tidak sehat, memupuk harga diri di atas dasar yang rapuh sehingga, pada saatnya, masa anak-anak itu menanjak dewasa, tentu saja mengalami gangguan kepribadian. Jelaslah bahwa sebenarnya dosa yang yang menimbulkan banyak persoalan dalam hidup ini. Dosa yang menjadi akar segala persoalan manusia.
Perlakuan kejam merupakan perilaku manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, yang menghasilkan pengalaman traumatis pada siapa yang menjadi korban. Dan perlakuan kejam tidak hanya merusak fisik manusia saja, tetapi juga merobek perasaan, sekaligus kepercayaan dan harga diri seseorang.
Ketika seseorang menerima Yesus, maka dosa-dosanya diampuni. Ia memiliki hidup yang kekal, dosa-dosanya diampuni, dan ia mengalami kasih dan pengampunan dari Allah. Kasih dan pengampunan itu sempurna. Ia yang tadinya merasa diri tidak berharga, sekarang, ketika Yesus ada di dalam hidupnya ia tahu bahwa ia berharga.
Penderita luka batin perlu mengerti dan percaya bahwa ia adalah orang yang berharga. Kalau tidak ia akan terus merasa dan menganggap bahwa dirinya jelek, jahat, tolol, goblok dan tidak berharga. Ia akan terus menghukum dirinya sendiri dengan anggapan-anggapan seperti itu. Selain itu ia juga akan meperlakukan orang lain berdasarkan anggapannya terhadap dirinya sendiri. Bukan tingkah laku yang membuat seseorang berharga, seseorang berharga karena diciptakan kembali melaluli kelahiran baru yang dianugerahkan oleh Allah.
Menjadikan Kristus sebagai pusat hidup dan pusat penyembuhan berarti membawa penderita luka batin untuk mengerti akan keberadaannya di hadapan Allah, yaitu bahwa dia adalah ciptaan baru yang berharga di mata Tuhan.
Pembimbingan Kristen berarti menolong orang-orang percaya yang pernah mengalami perlakuan kejam agar mereka mengenal identitas mereka yang baru di dalam Yesus. Kemudian menolong mereka untuk bertumbuh dalam kebenaran Firman Tuhan yang mampu mengubah pikiran dan perasaan mereka, sampai mereka menjadi sempurna di dalam Kristus (Kolose 1:28).
2. Menelusuri sumber-sumber perasaan
Ada orang yang tidak menyadari bahwa pikiran, emosi dan tingkah lakunya pada masa dewasa dipengaruhi oleh perlakuan yang pernah diterimanya pada masa lampau, khususnya pada masa kanak-kanak terutama dari lingkungan keluarga. Orang yang demikian mungkin hanya bertanya-tanya dalam hatinya dan menyesali dirinya mengapa ia menjadi orang yang rendah diri, menutupi diri, sukar bergaul, ia selalu merasa hidupnya tertekan dan menderita, pemarah, suka iri hati, dan suka menyakiti orang lain. Ia tidak tahu penyebab dari gangguan perasaan, tingkah laku dan pikirannya, karena itu ia perlu menelusuri lebih jauh apa yang menjadi sumber gangguan kepribadiannya. Penemuan, pendataan dan pemahaman sumber atau penyebab dari gangguan kepribadian itu akan memudahkan pembimbing dalam membimbing orang yang menderita luka batin tersebut. Dan memudahkan pembimbing untuk menyadarkan penderita, bahwa gangguan kepribadian yang dialaminya itu merupakan pengaruh dari perlakuan yang pernah diterimanya pada masa kanak-kanak. Namun demikian, bukan berarti setelah tahu penyebabnya, lalu mempersalahkan orang-orang yang pernah melukai dan melemparkan tanggung jawab kepada mereka. Penelusuran ini hanyalah untuk memudahkan proses penyembuhan. Seorang dokter akan lebih mudah mengobati penyakit seseorang jika ia mengetahui apa yang menyebabkan penyakit itu. Untuk dapat menelusuri sumber-sumber perasaan orang yang dibimbing maka pembimbing perlu mewawancarainya. Berikut ini adalah hal-hal yang dapat menolong pembimbing untuk mengetahui apakah orang yang dibimbing mengalami gangguan pada masa lalu, yang mengakibatkan luka-luka batin pada masa kini.
1) Gangguan emosi, pikiran dan fisik yang dialami oleh orang yang dibimbing
2) Gangguan yang dialami orang yang dibimbing dalam hubungannya dengan sesama
3) Gangguan yang dialami orang yang dibimbing dalam hubungannya denganTuhan.
4) Peristiwa-peristiwa masa lalu (khususnya masa kanak-kanak) yang menyakitkan sejauh peritiwa-peristiwa tersebut dapat diingatnya.
3. Menjelaskan pengaruh kehidupan masa lampau terhadap kehidupan sekarang
Kehidupan masa lampau sangat mempengaruhi kehidupan seseorang pada masa sekarang. Jika seseorang mengalami kehidupan yang bahagia pada masa lampaunya maka pada masa sekarang pun ia cenderung mengalami kehidupan yang bahagia karena ia memiliki kepribadian yang sehat. Tetapi sebaliknya jika seseorang mengalami kehidupan masa lampau yang pahit dan menyakitkan ia cenderung untuk mengalami kehidupan yang tidak bahagia pada masa sekarang. Hanya sayang banyak orang yang tidak menyadari akan hal itu. Orang-orang yang mengalami gangguan kepribadian kebanyakan hanya bertanya-tanya dalam hatinya mengapa ia menjadi pribadi yang demikian. Ia tidak dapat menerima diri, selalu menyesali diri, mempersalahkan diri, dan menghukum dirinya sendiri. Ia tidak mengerti mengapa ia menjadi orang yang hidupnya selalu merasa hidupnya tertekan, menderita, tegang, stres, pemarah dan lain-lain. Ia menjadi frustrasi terhadap dirinya sendiri.
Penjelasan masalah pengaruh kehidupan pada masa lampau terhadap kehidupan sekarang menolong penderita luka batin untuk lebih mengerti reaksi-reaksi emosi, perasaan, tingkah laku, pikiran, yang muncul dalam hidupnya sekarang. Jika seseorang dalam masa lampaunya merasa marah, tertolak karena tidak diperhatikan, tidak diperdulikan oleh orang-tuanya maka pada masa sekarang jika ada orang lain yang tidak memperhatikannya atau mempedulikannya ia akan merasa marah dan tertolak juga. Jadi sebenarnya reaksi-reaksi emosi, perasaan, tingkah laku, pikiran yang muncul dalam diri seseorang pada masa sekarang merupakan pemunculan kembali dari reaksi-reaksi emosinya pada masa lampau. Semua itu dapat terjadi karena kemarahan dan kebencian yang terpendam kemudian dilupakan dan tidak diselesaikan. Sehingga ketika ada kejadian atau peristiswa yang mirip dengan kejadian atau peristiwa yang pernah dialaminya dulu reaksi yang sama muncul.
4. Penerimaan dan Pengampunan.
Seorang penderita luka batin cenderung untuk tidak mau menerima kenyataan bahwa dirinya adalah seorang korban perlakuan kejam dan telah diperlakukan secara kejam oleh keluarganya. Ia mempunyai anggapan bahwa segala perlakuan yang ia terima dari keluarganya itu adalah suatu hal yang wajar, yang sudah sepatutnya ia terima sebagai seorang anak. Ia mencoba menyangkali, menutupi perasaan-perasaan marah, benci, kesal, dan dendam, penuh hal-hal negatif, di dalam hatinya dengan berpikiran bahwa adalah salah besar, merupakan dosa atau anak yang durhaka jika mempunyai perasaan-perasaan yang demikian terhadap orang-orang yang seharusnya ia hormati, hargai, kasihi, taati. Akhirnya ia mengalihkan semua perasaan-perasaan negatif itu kepada dirinya sendiri. Ia menyalahkan disi sendiri dengan berpikir bahwa orang-tuanya atau anggota keluarga yang lain marah kepadanya oleh karena sikap dan perbuatannya yang nakal, bandel, melawan, tidak menurut kemauan orang-tua. Ia tidak mau mengakui, bahwa sebenarnya ia merasa marah, benci, kesal, dendam terhadap orang-tuanya, kakaknya, omanya atau anggota keluarga lain yang menyakitinya. Ia menolak semua perasaan-perasaan yang muncul dalam dirinya itu dengan terus mencoba untuk bersikap hormat terhadap orang-tua dan anggota keluarga lain yang telah menyakitinya itu. Sementara itu sebenarnya kemarahan, kebencian, kekesalan, dendam dan penolakan, masih ada, tersimpan dalam hatinya, dan ia masih dicekam perasaan takut untuk melawan karena merasa diri lebih kecil dan tidak berdaya.
Penderita luka batin harus dibawa kepada penerimaan akan kenyataan bahwa dirinya adalah seorang korban perlakuan kejam dan telah diperlakukan secara kejam oleh keluarganya. Semua itu membuatnya menderita, sakit hati, marah, benci, dendam dan tertolak. Akuilah semuanya itu. Bawalah penderita luka batin mengakuinya. Sebab hanya jika seorang penderita luka batin mau mengakui dengan jujur di hadapan Allah bahwa memang sebenarnya merasa sakit hati, benci, dendam terhadap anggota keluarga yang telah menyakitinya maka ia akan mengalami kelegaan. Pengakuan akan membebaskannya dari perasaan-perasaan yang telah menekannya selama bertahun-tahun akibat ia terus menyembunyikan, menyimpan dan melupakan begitu saja tanpa menyelesaikannya.
Pada tahap ini penderita luka batin telah sampai kepada tahap penerimaan kenyataan yang telah dialami dan dirasakannya secara jujur.
Jika penderita luka batin telah sampai pada tahap penerimaan, selanjutnya bawalah ia ke tahap pengampunan. Banyak orang yang mengatakan sulit untuk dapat mengampuni orang yang telah melukai dan menyakiti. Jelas memang sulit, kalau mengandalkan kekuatan sendiri. Karena itu penderita luka batin harus mengerti apa yang menjadi dasar dari pengampunannya.
Penderita luka batin dapat mengampuni orang yang telah melukainya, menyakitinya jika ia menyadari dosa dan kesalahannya di hadapan Tuhan. Dan ia menyadari bagaimana Tuhan telah mengampuninya, walaupun ia seorang yang berdosa, pemberontak dan menyakiti hati Tuhan.
Alkitab berkata, bahwa Allah telah menunjukkan kasih-Nya dengan mati di atas kayu salib ketika manusia masih berdosa (Roma 5:8). Dia rela mengalami penderitaan, mengalami luka yang berat, mengalami perlakuan kejam baik secara fisik maupun secara psikis demi kasihNya kepada manusia berdosa. Inilah yang menjadi dasar pengampunan bagi penderita luka batin untuk dapat mengampuni orang-orang yang telah menyakitinya.
Mengampuni tidak sama dengan melupakan. Melupakan berarti mencoba untuk tidak mengingat lagi peristiwa-peristiwa yang menyakitkan itu. Namun sebenarnya kemarahan, kebencian, dendam itu masih ada. Melupakan tidak akan menyelesaikan persoalan. Sebaliknya mengampuni berarti mau mengakui dengan jujur bahwa ia merasa terluka, merasa tersakiti, merasa marah, benci, dendam dan sebagainya, kemudian menyerahkan semua perasaan itu kepada Kristus. Lalu meninggalkannya, dan melupakannya.
Mengampuni termasuk juga melupakan, sebagaimana Kristus telah mengampuni dan melupakan dosa-dosa manusia tanpa syarat (Yeremia 31:34).
Selain itu kesadaran akan berkat yang tersembunyi dalam penderitaan akibat luka-luka batin dan melihat bagaimana Allah sendiri berkarya dalam situasi tersebut (Roma 8:28) akan menolong penderita luka batin untuk dapat mengampuni orang-orang yang pernah menyakitinya. Langkah ini diambil Yusuf yang dicemburui saudara-saudara kandungnya, karena ia diistimewakan ayahnya Yakub. Lagi pula ia seorang pemimpi, dan bermimpi tentang berkas-berkas gandum saudara-saudaranya datang sujud di hadapan berkas gandumnya. Kemudian, ia bermimpi nampak matahari, bulan dan sebelas bintang sujud menyembahnya.
Ayahnya membuat baginya jubah yang indah, yang kemudian dipakainya ketika ia disuruh Ayahnya mengunjungi saudara-saudaranya yang sedang menggembalakan kambing domba di padang. Dari jauh ia sudah kelihatan kepada mereka. Tetapi sebelum ia dekat mereka pun bermufakat mencari daya upaya untuk membunuhnya. tetapi mereka menjebloskannya ke dalam sumur lalu menjualnya kepada Saudagar Midian sebagai budak. Dan Saudagar Midian pun menjualnya kepada Potifar, seorang pegawai istana Firaun, kepala pengawal Raja.
Yusuf menjadi budak, dan karena Allah menyertainya Potifar diberkati Tuhan. Kepadanya pun diserahkan pengelolaan rumah tangga Potifar. Isteri Potifar pun jatuh cinta dan mengajaknya selingkuh. Namun Yusuf menolaknya hingga suatu saat isteri Potifar memaksanya selingkuh, namun Yusuf lari dan meninggalkan jubahnya di tangan isteri Potifar. Ia pun difitnah lalu dijebloskan ke dalam penjara. Sekali lagi Yusuf menerima perlakuan kejam.
Tetapi Allah menyertainya dan Kepala Penjara mempercayakan kepadanya pengelolaan penjara. Tuhan membuat apa saja yang dikerjakannya berhasil. Hingga satu saat juru minuman dan juru roti raja Mesir membuat kesalahan dan dijebloskan ke dalam penjara bersama Yusuf. Mereka bermimpi. Yusuf menafsirkan mimpinya secara tepat.
Maka juru minuman pun dikembalikan ke jabatannya semula sedang juru roti naik ke tiang gantungan.
Suatu ketika bermimpilah Firaun. Para ahli di Mesir tak bisa menafsirkan mimpinya. Dan juru minuman ingat akan Yusuf. Ia menceriterakannya kepada Firaun. Yusuf pun akhirnya diminta menafsirkan mimpinya. Allah memberi tahu tafsir mimpinya dan Yusuf membeberkannya dan ia pun diangkat menjadi mangkubumi di Mesir.
Saat musim kelaparan melanda dunia, saudara-saudara Yusuf datang. Ia
mengenalinya, tapi saudara-saudaranya tak mengenalinya. Namun Yusuf tak mendendam
atau pun berusaha membalas dendam.
Yakub dan semua anak-anaknya di bawa ke Mesir. Dan ketika, Yakub mati, saudara-saudara Yusuf takut, kalau-kalau Yusuf masih ingat dan menyimpan dendam. Lalu mereka datang kepada Yusuf, mengakui dosanya. Apa jawab Yusuf?
“Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-
rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (Kejadian 37-50)
Tujuh langkah yang disarankan oleh Fred dan Florence Littauer untuk dapat mengampuni orang lain yaitu :[23]
1) Memilih atau memutuskan untuk mengampuni ayah, ibu, tante, paman, kakak, oma, opa, atau anggota keluarga yang lain atas perbuatannya yang melukai dan menyakitkan itu.
2) Meminta kepada Allah untuk mengampuni orang-orang yang telah menyakiti itu.
3) Meminta kepada Allah untuk mengampuni penderita luka batin sendiri atas sikap yang tidak mengampuni, kepedihan, kemarahan, kepahitan dan lain-lain.
4) Penderita luka batin mau mengampuni Allah atas sikapNya yang memperkenankan orang lain menyakiti hatinya.
5) Penderita luka batin harus memiliki perasaan bebas tanpa takut untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya, menangislah atas kepedihan dan kepahitan yang pernah dialaminya kalau memang ia mau menangis.
6) Meminta Allah menyembuhkan luka-luka dan kenangan pahit itu dan membiarkan Dia memenuhi hati dengan kasih dan kehadiranNya.
7) Mintalah Allah memberkati orang yang telah melukai.
5. Pemulihan
Tuhan berjanji akan memulihkan keadaan orang-orang yang mengalami penderitaan, yang mengalami luka-luka batin dalam hidupnya (2 Tawarikh 7:14; Yesaya 61:1-2). Ini adalah suatu janji yang indah yang memberi pengharapan bagi mereka yang menderita luka batin dan mengalami kepahitan dalam hidupnya.
Pemulihan atau penyembuhan adalah tanggung jawab Tuhan. Tuhan sanggup mengubah kemarahan dan kebencian dalam sekejap mata serta menggantinya dengan kasih dan pengampunan. Ketika seorang penderita luka batin mengenal Allah dan Firman-Nya, maka ia akan mengalami kuasa Allah yang menyembuhkan sekaligus
memulihkannya.
Pembimbing perlu mengingatkan penderita luka batin bahwa penyembuhan atau pemulihan itu memerlukan waktu.[24] Proses penyembuhan atau pemulihan membutuhkan iman yang dianugerahkan oleh Tuhan. Roh Kudus sanggup untuk memulihkan dengan kuasa-Nya yang ajaib.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses penyembuhan atau pemulihan ini adalah mengarahkan penderita luka batin menjadi murid Kristus [25] yakni dengan mengajarkan Firman Tuhan kepadanya dan mendorongnya untuk taat serta memiliki komitmen dalam menyediakan waktu secara pribadi bagi Kristus yaitu,
- Waktu untuk saat teduh
- Waktu untuk berdoa (Yohanes 15:7)
- Waktu untuk membaca Alkitab secara teratur dari Kejadian sampai Wahyu (Kisah Para Rasul 17:11; Yohanes 14: 21)
- Waktu untuk bersaksi (Matius 28:18-20)
- Waktu untuk bersama dalam kelompok kecil. Hal ini dengan pembimbing di mana konseli belajar mempertanggungjawabkan semua yang sudah dilakukannya selama tidak bersama dengan pembimbing, mencek sampai sejauh mana ketaatan yang dilakukannya dalam menerapkan berkat-berkat yang diperoleh dari saat teduh maupun pembacaan Alkitab. Kemudian akan belajar bersama tentang Firman Tuhan. Dan mendorong konseli mulai belajar bertanggung jawab menghadapi persoalan yang sedang dialaminya berdasarkan firman Tuhan. Dengan demikian konseli mengalami pembaharuan secara kognitif (Roma 12:2). Ketika pikirannya diubah oleh Firman Tuhan maka seluruh kehidupannya diubahkan. Penderita luka batin mulai berpikir dan mengarahkan hidupnya sesuai dengan kehendak Allah. Demikian juga dengan perasaan-perasaan atau emosi negatif yang selama ini menguasai penderita luka batin sedikit demi sedikit terkikis dan mulai memiliki perasaan yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Jika penderita luka batin mulai berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan kebenaran firman Allah, akhirnya ia akan mengalami perasaan yang sesuai dengan firman Allah, seperti kasih, sukacita dan damai sejahtera.
- Mendorong penderita luka batin untuk terlibat dalam ibadah gereja. Ibadah rutin setiap hari Minggu menolong konseli untuk menyadari identitas kelompoknya dalam keluarga Allah. Penyembahan dan penyampaian firman Allah merupakan kegiatan gereja yang penting dan dapat mendukung pertumbuhan konseli secara rohani. (Ibrani 10:25)
- Terus mendorong konseli untuk berlatih belajar bertanggung jawab atas persoalan yang sedang dihadapi berdasarkan firman Tuhan.
BIBLIOGRAFI
Atiyanto, Sridadi.
1980 Kebutuhan Manusia, persoalan Dan Pencegahannya. Bandung : Lembaga Literatur Baptis
Adams, Jay E.
1986 Anda pun Boleh Membimbing, terj. Anthony Atmadinata. Malang: Penerbit Gandum Mas
Corey, Gerald.
1988 Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi, terj. E. Koeswara. Bandung : Penerbit PT Eresco
Crabb, Lawrence J.
1983 Effective Biblical Caunseling. Grand Rapids : Zondervan Publishing House
Collins, Gary.
1980 Christian Counseling. Texas : Word Book Publisher
Daradjat, Zakiah
1989 Kesehatan Mental. Jakarta : CV Haji Masagung
Dobson, James
1982 Masalah Membesarkan Anak, terj. Ny. Pauline Tiendas. Bandung : Kalam Hidup
Fred & Litauer, Florence
1988 Freeing Your Mind From Memories That Bind. San Bernardino : Here’s Life Publishers
Gunarsa, Singgih D. & Ny. Gunarsa, Singgih D.
1983 Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Heitritter, Lynn & Vought, Jeanette
1989 Helping fictims of Sexual Abuse. Minnesota : Bethany House Publishers
Hadisubrata, M.S.
1988 Mengembangkan Kepribadian Anak Balita. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Jacobsen, Margaret Bailey
1977 Ketika Anak Anda Bertumbuh, trj. Gabrella K. Koeswiranegara. Bandung : Kalam Hidup
Kartono, Kartini
- Psikologi Anak. Bandung : Alumni
________
1990 Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual. Bandung : Penerbit Mandar Maju
Kenny, James & Kenny, Mary
1988 Dari Bayi Sampai Dewasa. Jakarta : BPK Gunung Mulia
LaHaye, Baverly
1977 Membina Temperamen Anak, terj. Ny. Pauline Tiendas. Bandung : Kalam Hidup
Linn, Matthew; Fabricant, Sheila; Linn, Dennis
1988 Healing the Eigh Stages of Life. Mahwah : Paulist Press
Linn, Deniss & Linn, Matthew
1989 Penyembuhan Luka-luka Batin, terj. Soepomo S. Wardoyo. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
________
1972 Healing Life’s Hurts (Healing Memories Through The Five Stages Of Forgivenes). New York : Poulist Press
Meier, Paul D.;Minirth, Frank B.; Wichern, Frank
1988 Introduction To Psykology & Counseling. Grand Rapids : Baker Book House
Maslow, Abraham H.
1984 Motivasi dan kepribadian, terj. Nurul Iman. Jakarta : Gramedia
Meier, Paul D.
1983 Membesarkan Anak Dan Membesarkan Anak secara Kristen. Surabaya : Yakin
Mangunhardjana, A.M.
- Mengatasi Hambatan-hambatan Kepribadian. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Mohline, Mrs
1988 ‘Korban Sadis’ Bahan kuliah pada Seminar Medio 1988, Institut Alkitab Tiranus Bandung
Narrmore, Bruce
1990 Mengapa Anak-anak Berkelakuan Buruk, terj. Gerrit J. Tiendas. Bandung : Kalam Hidup
Narramore, Clyde M.
1990 Liku-liku Problema Rumah Tangga, trj. Gerrit J. Tiendas. Bandung : Kalam Hidup
Sanders, J. Oswald
2002 Kemuridan Rohani. Batam: Gospel Press
S. Winarno & Thomas R.M.
1979 Perkembangan pribadi Dan Keseimbangan Mental. Bandung : Penerbit Jemmars
Soekanto, Soerjono
1985 Anak Dan Pola Perikelakuannya. Jakarta : BPK Gunung Mulia & Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Staf Yayasan Cipta Loka Caraka
1989 Tantangan Membina Kepribadian. Jakarta : Yayasan Cipta Loka Caraka
Susabda, Yakub B.
1985 Pastoral Konseling I. Malang : Gandum Mas
________
1985 Pastoral Konseling II. Malang : Gandum Mas.
Seamend, David A.
1985 Healing of Memories. Singapore : Su Publishers
Sutedja, Ridwan
1991 “ Cikal Bakal Seorang Homoseks.” Sahabat Gembala, Mei 1991, hlm, 64.
Tapscott, Betty
1975 Inner Healing of Memories. Texas : Hunter Publishing Company
[1] Ny. Y. Singgih D. Gunarsih & Singgih D. Gunarsih, Psikologi untuk Membimbing (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1982), hlm. 22
[2] Ibid., hlm. 23
[3] Paul D. Meier, Frank B. Minirth dan Frank Wichern, Introduction to Psycology & Counseng (Grand Rapids : Baker Book House, 1988), hlm. 291.
[4] Lawrence J. Crabb, Effective Biblical Counseling A Model for Helping Caring Cristians Become Capable Counselors (Grand Rapids : Zondervan Publishing Hause, 1983), hlm. 20-29
[5] Maier, Minirth dan Wichern, Introduction to Psycology & Counseling, op.cit. , hlm. 292
[6] Susabda, Pastoral Konseling I, op.cit. , hlm. 57
[7] Meier, Minirth dan Wichern, Introduction to Psychology & Counseling, op.cit.,hlm. 292.
[8] Susabda, Pastoral Konseling I, op.cit., hlm. 49
[9] W.S. Heath, Kuliah semester I-1988 tentang psikologi Kristen, Institut Tiranus Bandung, 1988
[10] Meier, Minirth dan Wichern, Introduction to Psychology & Counseling, op.cit., hlm. 292-293
[11] Susabda. Pastoral Konseling I. Op.cit., hlm. 77.
[12] Crabb, Efective Biblical Counseling, op.cit., hlm. 20-24
[13] Crabb, Efective Biblical Counseling, op.cit., hlm. 20
[14] Meier, Minirth dan Wichern, Introduction to Psychology & Counseling, op.cit., hlm. 291.
[15] Jay E. Adams, Anda pun Boleh Membimbing, saduran Institut Alkitab Tiranus Bandung (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1986), hlm. 32
[16] Bernard Poduska, Empat Teori Kepribadian, saduran R. Turman Sirait (Jakarta: Penerbit Tulus Jaya, 1990), hlm. 78-85.
[17] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Bandung : Penerbit PT Eresco, 1988), hlm. 90-105
[18] Thomas A. Harris, Saya Oke, Kamu Oke (Jakarta: Yayas an Cipta Loka Caraka, 1985), hlm. 50-64.
[19] Meier, Minirth dan Wichern, Introduction to Psychology & Counseling, op.cit., hlm. 303.
[20] Corey, op.cit., hlm. 267-287
[21] Meier, Minirth dan Wichern, Introduction to Psychology & Counseling, op.cit., hlm. 302
[22] Betty Tapscott, Inner Healing through Healing of Memories (Texas: Hunter Publishing Company, 1983) hlm. 13
[23] Ibid., hlm. 252-253
[24] Dennis & Matt Linn, Penyembuhan Luka-luka Batin, terj. Sorpomo S. Wardoyo (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1989) hlm. 38
[25] J. Oswald Sanders, Kemuridan Rohani, terj. Jennifer E. Silas (Batam: Gospel Press, 2002) hlm. 4